Terdapat dua konsep yang perlu dijelaskan dalam kontek kekerasan terhadap anak yaitu konsep kekerasan dan anak. Anak dalam undang-undang tentang Pelrindungan Anak didefinisikan dengan menggunakan batasan usia. Batasan usia anak dalam undang-undang no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat pada pasal 1 bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Definisi tersebut sejalan dengan pengertian anak menurut Konvensi Hak Anak (KHA) yang menyatakan anak berarti setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun kecuali, berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaan telah dicapai lebih cepat.
Sedangkan konsep kekerasan terhadap anak dalam undang-undang tersebut tidak diberi pengertian yang jelas. Konsep kekerasan lebih jelas didefinisikan dalam UU no 23 tahun 2004 tentang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Menurut undang-undang tersebut kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Bentuk-bentuk KDRT yang dimaksudkan dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 adalah: a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Sedangkan kekerasan seksual meliputi : (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam ling¬kup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Dengan meminjam definisi kekerasan dan bentuk kekerasan dalam undang-undang PKDRT tersebut penelitian ini memberi definisi kekerasan dan bentuk kekerasan terhadap anak dengan merubah obyek dan lingkupnya. Dengan demikian kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap seorang anak, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran anak termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup keluarga, sekolah dan lingkungan sosial lainnya. Berdasarkan pengertian tersebut maka bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dapat berupa fisik, seksual, psikologis/verbal.
Kekerasan terhadap anak menurut Keppres RI no 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (trafiking) Perempuan dan Anak berbentuk perdagangan manusia. Perdagangan (trafiking) manusia adalah rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memberi kendali atas orang lain tersebut, untuk kepentingan eksploitasi yang secara minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau layanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek lain yang serupa dengan perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ-organ tubuh (Sagala dan Rozana, 2007:19-20)
Berdasarkan hasil penelitian Adi dkk. (2008) bentuk-bentuk kekerasan yang secara prosentase banyak diterima anak baik di rumah maupun di sekolah adalah: dipukul/disabet dan dicubit (kekerasan fisik); dicolek dan disingkap roknya (kekerasan seksual); dimarahi, diejek dan dimaki (kekerasan verbal/psikis). Diantara tiga kelompok bentuk kekerasan tersebut yang paling sering dialami anak adalah kekerasan verbal. Anak laki-laki pada umumnya lebih besar prosentasenya mendapat kekerasan fisik dibandingkan anak perempuan. Sedangkan hasil penelitian Putri (2008) menemukan dua bentuk kekerasan terhadap anak dengan dalih memberi hukuman yang mendidik yaitu hukuman fisik, seperti: dicubit/dijewer, push up, lari keliling lapangan, dilempar menggunakan alat tulis, dijemur, ditampar/dipukul, ditendang dan hukuman non-fisik, seperti: mencemooh/diejek dan mengancam.
Sementara hasil penelitian di pondok pesantren Pesantren Nurul Hakim Kediri menunjukkan bahwa tindakan yang menyertai penanaman kedisiplinan dan dikategorikan sebagai tindak kekerasan dalam proses pembelajaran dapat disaksikan dalam proses pembelajaran formal maupun non formal. Tindak kekerasan pada proses pembelajaran non-formal ketika berada di lingkungan pondok atau asrama lebih banyak terjadi dibanding pada proses pembelajaran formal. Bentuk hukuman yang diberikan beragam mulai dari bentakan, cubitan sampai pukulan dan bahkan digunduli rambutnya bagi yang laki-laki. Sedangkan pelaksana hukuman adalah ustad, santri-santri senior dari berbagai departemen yang ditempatkan dalam setiap ruangan (Nurhilaliati, 2005).
Kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi di lingkungan keluarga dan sekolah tetapi juga terjadi di lingkungan sosial terutama bagi anak-anak jalanan atau anak-anak yang bekerja. Hasil penelitian Hanandini (2004) menunjukan bahwa berbagai bentuk tindak kekerasan dan pelecehan seksual dialami oleh anak jalanan oleh para preman. Sementara hasil penelitian lain memperlihatkan anak-anak jalanan kurang mendapatkan perlindungan dari pemerintah dari tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh para preman tersebut (Hanandini, 2005). Hasil penelitian Hanandini tersebut nampak sejalan dengan temuan Adi (2006) yang melakukan penelitian kekerasan yang dialami anak di rumah dan sekolah di tiga kota Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara. Hasil dari kajian ini menemukan: (1) bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak di rumah dan sekolah berbeda dengan bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak di masyarakat; (2) kekerasan yang dialami anak dari orang tuanya atau guru dianggap hukuman dalam rangka mendidik anak, hal tersebut masih merupakan kebiasaan (budaya) mereka; (3) perlindungan anak terhadap kekerasan yang terjadi di lingkungan keluarga dalam prakteknya belum tersentuh karena masih dianggap sebagai urusan (hak) keluarga.
Kekerasan terhadap anak akan berdampak secara fisik, psikologis, dan sosial. Kekerasan secara fisik mengakibatkan organ-organ tubuh siswa mengalami kerusakan seperti memar, luka-luka. Siswa yang mengalami hukuman fisik akan memakai kekerasan di keluarganya nanti, sehingga siklus kekerasan makin kuat. Dampak secara psikologis akan menimbulkan trauma psikologis, rasa takut, rasa tidak aman, dendam, menurunnya semangat belajar, daya konsentrasi, kreativitas, hilangnya inisiatif, serta daya tahan (mental) siswa, menurunnya rasa percaya diri, inferior, stress, depresi. Dalam jangka panjang, dampak ini bisa terlihat dari penurunan prestasi, perubahan perilaku yang menetap. Secara sosial siswa yang mengalami tindakan kekerasan tanpa ada penanggulangan, bisa saja menarik diri dari lingkungan pergaulan, karena takut, merasa terancam dan merasa tidak bahagia berada diantara temantemannya. Mereka juga jadi pendiam, sulit berkomunikasi baik dengan guru maupun dengan sesama teman. Bisa jadi mereka jadi sulit mempercayai orang lain, dan semakin menutup diri dari pergaulan.
Hasil penelitian Suyanto dan Sanituti (2002:32), bahwa dampak fisik adalah semua kerusakan yang diakibatkan oleh adanya tindakan kekerasan yang dilakukan pada bagian fisik-biologis anak. Biasanya, kekerasan fisik yang seperti ini langsung terlihat nyata oleh panca indra. Adapun dampak psiskis adalah dampak yang ditimbulkan dari tindakan kekerasan terhadap anak yang berakibat pada gangguan jiwa; rasa takut, minder, malu, over acting dan lain sebagainya. Sedangkan secara jangka panjang, akan berakibat lahirnya pelaku-pelaku baru tindak kekerasan. Diperkirakan para ustadz yang juga jebolan pesantren, belajar tindak kekerasan dari pengalaman masa lalu mereka. Dampak lain dari tindak kekerasan atau hukuman kepada para peserta didik adalah tertanamnya jiwa yang keras dan ingin menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan kekerasan.
Bentuk-bentuk KDRT yang dimaksudkan dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 adalah: a. kekerasan fisik; b. kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Sedangkan kekerasan seksual meliputi : (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam ling¬kup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Dengan meminjam definisi kekerasan dan bentuk kekerasan dalam undang-undang PKDRT tersebut penelitian ini memberi definisi kekerasan dan bentuk kekerasan terhadap anak dengan merubah obyek dan lingkupnya. Dengan demikian kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap seorang anak, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran anak termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup keluarga, sekolah dan lingkungan sosial lainnya. Berdasarkan pengertian tersebut maka bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dapat berupa fisik, seksual, psikologis/verbal.
Kekerasan terhadap anak menurut Keppres RI no 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (trafiking) Perempuan dan Anak berbentuk perdagangan manusia. Perdagangan (trafiking) manusia adalah rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memberi kendali atas orang lain tersebut, untuk kepentingan eksploitasi yang secara minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau layanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek lain yang serupa dengan perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ-organ tubuh (Sagala dan Rozana, 2007:19-20)
Berdasarkan hasil penelitian Adi dkk. (2008) bentuk-bentuk kekerasan yang secara prosentase banyak diterima anak baik di rumah maupun di sekolah adalah: dipukul/disabet dan dicubit (kekerasan fisik); dicolek dan disingkap roknya (kekerasan seksual); dimarahi, diejek dan dimaki (kekerasan verbal/psikis). Diantara tiga kelompok bentuk kekerasan tersebut yang paling sering dialami anak adalah kekerasan verbal. Anak laki-laki pada umumnya lebih besar prosentasenya mendapat kekerasan fisik dibandingkan anak perempuan. Sedangkan hasil penelitian Putri (2008) menemukan dua bentuk kekerasan terhadap anak dengan dalih memberi hukuman yang mendidik yaitu hukuman fisik, seperti: dicubit/dijewer, push up, lari keliling lapangan, dilempar menggunakan alat tulis, dijemur, ditampar/dipukul, ditendang dan hukuman non-fisik, seperti: mencemooh/diejek dan mengancam.
Sementara hasil penelitian di pondok pesantren Pesantren Nurul Hakim Kediri menunjukkan bahwa tindakan yang menyertai penanaman kedisiplinan dan dikategorikan sebagai tindak kekerasan dalam proses pembelajaran dapat disaksikan dalam proses pembelajaran formal maupun non formal. Tindak kekerasan pada proses pembelajaran non-formal ketika berada di lingkungan pondok atau asrama lebih banyak terjadi dibanding pada proses pembelajaran formal. Bentuk hukuman yang diberikan beragam mulai dari bentakan, cubitan sampai pukulan dan bahkan digunduli rambutnya bagi yang laki-laki. Sedangkan pelaksana hukuman adalah ustad, santri-santri senior dari berbagai departemen yang ditempatkan dalam setiap ruangan (Nurhilaliati, 2005).
Kekerasan terhadap anak tidak hanya terjadi di lingkungan keluarga dan sekolah tetapi juga terjadi di lingkungan sosial terutama bagi anak-anak jalanan atau anak-anak yang bekerja. Hasil penelitian Hanandini (2004) menunjukan bahwa berbagai bentuk tindak kekerasan dan pelecehan seksual dialami oleh anak jalanan oleh para preman. Sementara hasil penelitian lain memperlihatkan anak-anak jalanan kurang mendapatkan perlindungan dari pemerintah dari tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh para preman tersebut (Hanandini, 2005). Hasil penelitian Hanandini tersebut nampak sejalan dengan temuan Adi (2006) yang melakukan penelitian kekerasan yang dialami anak di rumah dan sekolah di tiga kota Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara. Hasil dari kajian ini menemukan: (1) bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak di rumah dan sekolah berbeda dengan bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak di masyarakat; (2) kekerasan yang dialami anak dari orang tuanya atau guru dianggap hukuman dalam rangka mendidik anak, hal tersebut masih merupakan kebiasaan (budaya) mereka; (3) perlindungan anak terhadap kekerasan yang terjadi di lingkungan keluarga dalam prakteknya belum tersentuh karena masih dianggap sebagai urusan (hak) keluarga.
Kekerasan terhadap anak akan berdampak secara fisik, psikologis, dan sosial. Kekerasan secara fisik mengakibatkan organ-organ tubuh siswa mengalami kerusakan seperti memar, luka-luka. Siswa yang mengalami hukuman fisik akan memakai kekerasan di keluarganya nanti, sehingga siklus kekerasan makin kuat. Dampak secara psikologis akan menimbulkan trauma psikologis, rasa takut, rasa tidak aman, dendam, menurunnya semangat belajar, daya konsentrasi, kreativitas, hilangnya inisiatif, serta daya tahan (mental) siswa, menurunnya rasa percaya diri, inferior, stress, depresi. Dalam jangka panjang, dampak ini bisa terlihat dari penurunan prestasi, perubahan perilaku yang menetap. Secara sosial siswa yang mengalami tindakan kekerasan tanpa ada penanggulangan, bisa saja menarik diri dari lingkungan pergaulan, karena takut, merasa terancam dan merasa tidak bahagia berada diantara temantemannya. Mereka juga jadi pendiam, sulit berkomunikasi baik dengan guru maupun dengan sesama teman. Bisa jadi mereka jadi sulit mempercayai orang lain, dan semakin menutup diri dari pergaulan.
Hasil penelitian Suyanto dan Sanituti (2002:32), bahwa dampak fisik adalah semua kerusakan yang diakibatkan oleh adanya tindakan kekerasan yang dilakukan pada bagian fisik-biologis anak. Biasanya, kekerasan fisik yang seperti ini langsung terlihat nyata oleh panca indra. Adapun dampak psiskis adalah dampak yang ditimbulkan dari tindakan kekerasan terhadap anak yang berakibat pada gangguan jiwa; rasa takut, minder, malu, over acting dan lain sebagainya. Sedangkan secara jangka panjang, akan berakibat lahirnya pelaku-pelaku baru tindak kekerasan. Diperkirakan para ustadz yang juga jebolan pesantren, belajar tindak kekerasan dari pengalaman masa lalu mereka. Dampak lain dari tindak kekerasan atau hukuman kepada para peserta didik adalah tertanamnya jiwa yang keras dan ingin menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan kekerasan.
0 Comments:
Post a Comment