Upaya Memahami Sejak Dini Potensi Kenakalan
Remaja ''Kenakalan yang tersembunyi" adalah salah satu bentuk dari
kenakalan yang sebelumnya tidak terlihat. Baru diketahui ketika anak atau
remaja mengalami kejadian yang tidak disangka sebelumnya menimpa diri remaja.
Kecelakaan di jalan raya, dengan masih mengenakan seragam sekolah lantaran
mabuk mengendarai kendaraan bermotor misalnya, menjadi contoh yang sering dialami
orangtua. Atau remaja terjaring razia pihak sekolah lantaran dalam tas sekolah
ditemukan senjata tajam. Kejadian pahit semacam ini menjadikan orangtua baru
menyadari, ada yang salah dalam pergaulan anak yang lepas dari pemantauan.
Ternyata, selama ini anak pandai berkamuflase, lihai menyembunyikan aktivitas
negatif di luar rumah agar tidak diketahui oleh keluarga.
SALAH pergaulan, dipahami sebagai hubungan
personal remaja dengan teman seusianya yang menyimpang dari pranata umum
pergaulan. Tak sedikit memang, remaja yang terjerumus ke salah pergaulan
berawal dari kegiatan kumpul-kumpul dengan sesama anak muda -- teman sekolah,
teman di rumah, atau teman di lingkungan lain. Lantas, sebagai anak muda dengan
karakteristik suka tantangan dan hasrat mencoba sesuatu yang baru, tak sedikit
yang malah tercebur makin dalam dengan pergaulan yang lebih besar unsur
negatifnya ketimbang unsur positifnya. Salah pergaulan bisa menimpa siapa saja.
Tidak hanya pada anak dengan latar belakang keluarga broken home, dari keluarga
baik-baik pun banyak. Sudah cukup banyak bukti, remaja yang terjerumus pakai
obat-obatan terlarang justru dari keluarga baik-baik -- dari kalangan pendidik
sendiri ataupun tokoh yang disegani masyarakat. Ini berarti terjerumus tidaknya
remaja berpulang pada pribadi remaja itu sendiri. Semuanya dapat terjadi lebih
dikarenakan dalam diri remaja belum terbangun resistensi atau daya tahan
terhadap hal-hal baru yang datang menggoda kehidupan muda mereka. Ujian
ketahanan diri anak memang banyak dari pergaulan ini.
Perlu Pemahaman
Membangun resistensi diri pada remaja
memerlukan pemahaman orangtua terhadap aspek kejiwaan dan pola pendidikan anak.
Resistensi diri dibentuk oleh banyak hal. Di antaranya faktor keturunan
(genetis), pola pendidikan di rumah, pola pendidikan di sekolah, lingkungan di
luar rumah dan sekolah serta faktor peradaban pergaulan remaja itu sendiri.
Namun, banyak juga orangtua yang sudah bisa menilai kecenderungan perilaku
anak, tapi tak berdaya memperbaiki. Gejala-gejala anak tumbuh menjadi anak yang
biasa disebut "bajingan" sudah dapat diketahui sejak anak memasuki
usia remaja. Kegelisahan orangtua terlihat tatkala anak mulai bertingkah laku
dan menggunakan aksesoris yang aneh-aneh. Misalnya berawal dari
memasang anting-anting, men-tatto pada bagian tubuh yang tersembunyi,
merokok di dalam kamar, bolos sekolah, sering keluar malam, pulang rumah dalam
keadaan mabuk, sering berbohong hingga pada akhirnya berani melawan orangtua.
Tak sedikit orangtua yang merasa kewalahan kemudian menyerah dengan kondisi
ketidakmampuan mengasuh anak.
Dalam keadaan seperti ini, kerap orangtua
hanya pasrah dan menyimpan harapan kosong. Orangtua berharap bahwa waktu dan
kedewasaan anak akan mampu menyadarkan sekaligus mengubah anak dengan
sendirinya. Orangtua pun lantas makin surut untuk mendidik dan mengarahkan anak
ke dalam pola pengasuhan seperti yang diharapkan umumnya orangtua. Dalam
situasi ini, terlebih pada anak yang tervonis "nakal" sejak remaja,
biasanya orangtua melakukan tindakan "terapi sosial". Jika dirasakan
oleh orangtua bahwa anak terjerumus lantaran sekolah dan lingkungan sekolah,
maka orangtua akan berusaha memindahkan anak dari sekolahnya semula. Setidaknya
upaya ini mampu memotong anak dengan lingkungan yang telah membentuk perilaku
negatifnya. Upaya semacam ini akan lebih efektif jika dibarengi dengan
pendekatan yang lebih intens kepada sang anak dengan memberikan pemahaman
tentang positif negatifnya pergaulan. Jika karena lingkungan pergaulan teman di
luar rumah, maka orangtua makin selektif dan sering melarang anak keluar rumah.
Dalam beberapa kondisi mungkin tindakan semacam itu berdampak positif. Jika
dalam diri anak tumbuh jiwa pembangkangan atau pemberontakan, maka tindakan ini
justru akan merupakan permulaan perlawanan panjang pada hegemoni orangtua.
Memisahkan remaja dari interaksi sosialnya bukanlah merupakan jawaban final.
Bukan pergaulan itu yang patut dikambinghitamkan, tapi kemampuan anak dalam
meletakkan dirinya dalam pergaulan itu yang mesti dicermati. Di sinilah peran
penguatan resistensi diri anak mesti dimunculkan.
Tipe Kenakalan
Orangtua hendaknya mampu membedakan tipe
kenakalan remaja. Ini akan membantu dalam menentukan pola pendidikan atau pola
pengasuhan yang diterapkan guna membangun resistensi diri anak. Secara umum ada
dua tipe kenakalan pada remaja.
1. Nakal dalam Penampilan -- Nakal dalam
penampilan kerap hanya nakal dalam sisi permukaan saja. Artinya, pada diri anak
telah terbangun sebuah pemahaman tentang batas-batas mana sebuah sikap atau
perilaku berdampak negatif pada diri dan keluarga. Kenakalan ini hanya
merupakan aksesoris diri, bisa jadi merupakan salah satu bentuk ekspresi dan
media eksistensi diri. Dalam bahasa remaja hal ini adalah bagian dari trend
penampilan (eksistensi dan pencitraan diri). Remaja memang kerap
membutuhkan media untuk mengaktualisasikan kepemudaan/kerejamaan pada dirinya. Media itu salah satunya memang pada penampilan diri. Adakalanya mereka lebih comfort dengan penampilan dengan aksesoris yang sedikit "nakal" seperti mengenakan anting-anting (tindik) pada telinga, bibir, lidah, hidung dan bagian-bagian tubuh lainnya, serta mencat rambut. Untuk tipe semacam ini, tugas orangtua lebih ringan, tinggal mengawasi dan mengontrol saja, agar tidak terlalu larut menikmati kebebasan dalam berekspresi.
membutuhkan media untuk mengaktualisasikan kepemudaan/kerejamaan pada dirinya. Media itu salah satunya memang pada penampilan diri. Adakalanya mereka lebih comfort dengan penampilan dengan aksesoris yang sedikit "nakal" seperti mengenakan anting-anting (tindik) pada telinga, bibir, lidah, hidung dan bagian-bagian tubuh lainnya, serta mencat rambut. Untuk tipe semacam ini, tugas orangtua lebih ringan, tinggal mengawasi dan mengontrol saja, agar tidak terlalu larut menikmati kebebasan dalam berekspresi.
2. Nakal dalam Perilaku -- Kategori ini
mengandung pengertian anak atau remaja memang telah berperilaku nakal yang
sebenarnya. Di sini peran orangtua dituntut lebih besar, mesti ekstra dalam
pengawasan dan memberikan perhatian pada remaja. Pada tipe ini, penggunaan
atribut "nakal" tidak lagi sebagai sebuah sensasi nonpermanen, tapi
lebih dari itu sudah merupakan bagian diri yang tidak terpisahkan. Keakraban
remaja pada visualisasi diri akan berdampak lebih dari itu. Ketika anak mulai
berulah dalam bersikap dan berbusana, orangtua harus segera melakukan
pendekatan, tak boleh canggung lagi memasuki wilayah pribadi anak. Orangtua
memang harus lebih rajin melihat kamar pribadi anak, melihat tas sekolah,
lemari, meja, termasuk beberapa tempat tersembunyi. Kecurigaan harus selalu
dimunculkan tapi tetap dalam bingkai pendidikan, bukan memvonis anak yang
berakibat anak berontak berlebihan. Orangtua mesti menanyakan perkembangan
sekolah anak pada teman sang anak atau guru sekolah. Usaha preventif lebih
bagus ketimbang terlambat dan mendapati anak sudah terlanjur salah dalam
melangkah.
Tumbuhkan Resistensi
Ada beberapa hal yang sering dilupakan
orangtua, pada saat anak-anak bersosialisasi dengan teman ataukah kumpulannya.
Karena, dirasakan hal ini terlalu berlebihan. Tetapi dalam upaya menumbuhkan
resistensi tumbuh dalam diri remaja, ada baiknya orangtua juga
memahaminya.
a)
Menanamkan metode pengawasan diri.
Ini terkait dengan cara membesarkan anak dan
pola pengasuhan yang diterapkan orangtua sejak dini. Kehidupan keluarga yang
agamais dengan menanamkan etika, budi pekerti dan ajaran agama sejak dini
diyakini mampu meminimalisir kenakalan remaja. Yang terpenting adalah penguatan
logika, sehingga remaja bisa menilai baik atau buruk, positif atau negatif
sebuah pergaulan. Sehingga, remaja sendiri dapat memikirkan cara-cara untuk
menghindari ajakan teman yang tidak baik.
b)
Kemampuan menilai kualitas kumpulan.
Menanamkan upaya yang mendorong anak dan
remaja ke kumpulan yang berkualitas. Memberikan pertimbangan sejak dini kumpulan
atau kelompok yang diminati anak. Selektif dalam memilih teman dan kelompok
merupakan kata kuncinya. Seminimal mungkin orangtua bisa mengetahui apa yang
dilakukan anak saat mereka kumpul dengan teman-teman mereka di luar. Saat
santai dengan teman pun diharapkan orangtua mampu menanamkan pada anak untuk
menilai kualitas pertemuan itu. Bagaimana kualitas pembicaraan? Apakah
pembicaraan atau ngobrol-ngobrol yang terjadi hanya gosip yang tak berisi
apa-apa? Tujuannya, agar sang anak dapat merasakan dan membandingkan percakapan
mana yang berisi dan perkumpulan mana yang berkualitas.
c)
Mengarahkan anak sebagai pemimpin kelompok.
Walau sulit dan tidak dapat dilakukan setiap
individu, upaya ini harus tetap ditanamkan pada remaja. Karena hanya dengan
menjadi pemimpin, remaja bisa membawa kumpulan menjadi komunitas yang memiliki
nilai lebih. Menumbuhkan "wibawa" dalam komunitas kecil sekalipun
akan menumbuhkan kesan disegani oleh anggota komunitas, sehingga keinginan
mengajak yang bukan-bukan dapat tereduksi. Ketiadaan sifat-sifat kepemimpinan
pada diri anak membuat anak lemah dalam bergaul, sehingga dengan mudah
diperdaya dan diajak ke arah negatif, menurut saja tanpa perlawanan. Karena
sifat takut yang lebih dominan, maka sang anak menurut saja diajak ke hal negatif,
terlebih sang anak merasa takut disisihkan dalam sebuah pergaulan.
d)
Memerankan orangtua sebagai bagian dari
kelompok anak.
Kedekatan orangtua dengan anak dan
teman-teman mereka, diyakini efektif dalam pertumbuhan kedewasaan remaja. Ini
bagus juga meningkatkan posisi sang anak dalam sebuah kelompok. Ini dapat
dilakukan dengan cara sejak awal orangtua menjalin komunikasi familiar dengan
teman-teman anak mereka. Memperpendek jurang pemisah hubungan anak-orangtua dan
selalu memberikan ruang berdiskusi dan bersenda gurau bagi mereka, serta
memberikan fasilitas.
0 Comments:
Post a Comment